Si Pahit Lidah
Serunting,
seorang pangeran yang berasal dari Sumatra Selatan. Ia terkenal punya kesaktian
yang tinggi, namun ternyata kesaktiannya bisa dikalahkan oleh adik iparnya,
Aria Tebing. Keduanya bertikai memperebutkan cendawan emas yang tumbuh di
perbatasan ladang mereka. Bagaimana cara Aria Tebing mengalahkan Serunting yang
sakti itu? Lalu, mengapa Pangeran Serunting dijuluki Si Pahit Lidah ? Simak
kisahnya dalam cerita Si Pahit Lidah berikut ini!
*
* *
Dahulu,
di daerah Sumidang, Sumatra Selatan, ada seorang pangeran bernama Serunting. Ia
adalah anak keturunan raksasa yang namanya Putri Tenggang. Suatu hari, Pangeran
Serunting mempersunting seorang gadis desa bernama Sitti. Setelah menikah, ia
mengajak istrinya untuk tinggal di istana. Namun, Sitti bingung. Di satu sisi,
ia tidak ingin berpisah dengan adik laki-lakinya yang bernama Aria Tebing, tapi
di sisi lain ia harus patuh pada suaminya.
“Dinda
tidak tahu harus berbuat apa lagi, Kanda. Dinda tidak tega jika harus meninggalkan
Aria Tebing, adik Dinda satu-satunya,” kata Sitti kepada suaminya.
“Kalau
begitu, bagaimana jika Aria Tebing kita ajak untuk tinggal bersama di istana?”
usul Pangeran Serunting.
Sitti
pun menerima saran tersebut. Namun, ketika hal itu disampaikan kepada Aria
Tebing, adiknya itu justru menolak. Ia lebih senang hidup bebas di desa
daripada tinggal di istana yang penuh dengan aturan. Akhirnya, Sitti dan Aria
Tebing bermufakat untuk membagi dua kebun warisan dari orangtua mereka. Kebun
yang menjadi bagian Sitti secara tidak langsung juga sudah menjadi milik
Pangeran Serunting. Agar tidak terjadi perselisihan di antara mereka, Pangeran
Serunting pun menyarankan agar kebun mereka diberi pembatas.
“Lebih
baik di tengah-tengah ladang itu diberi pembatas agar kelak tidak terjadi
perselisihan di antara kita,” ujar Pangeran Serunting.
“Saran
yang bagus, Kanda,” kata Aria Tebing.
Keesokan
harinya, Aria Tebing bersama Serunting berangkat ke kebun itu dengan membawa
sebatang kayu pembatas. Setiba di sana, kayu pembatas itu mereka tanam
dalam-dalam di tengah ladang.
Beberapa
hari kemudian, pada kayu pembatas itu tumbuh tanaman cendawan atau jamur.
Namun, cendawan yang tumbuh pada batang kayu itu jauh berbeda. Cendawan yang
mengarah ke kebun Serunting hanya cendawan biasa, sedangkan cendawan yang
mengarah ke kebun Aria Tebing berupa cendawan emas. Aria Tebing pun menjual
cendawan emas tersebut dan ia menjadi kaya raya. Rupanya, Serunting iri hati
melihat nasib baik dialami oleh adik iparnya itu.
Suatu
hari, Serunting mendatangi Aria Tebing yang sedang memetik jamur emas di
ladangnya. Ia sudah tidak kuat menahan perasaan iri yang menyelimuti hatinya.
“Hai,
Aria Tebing! Apa yang kau lakukan terhadap tanaman cendawanku?” tanya Pangeran
Serunting.
“Apa
maksud, Kanda? Aku tidak melakukan apa-apa terhadap cendawan Kanda,” jawab Aria
Tebing dengan heran.
“Ah,
bohong kamu! Pasti kamu telah berbuat curang kepadaku,” tuduh Pangeran
Serunting, “Engkau telah membalik kayu pembatas itu sehingga cendawan emas itu
mengarah ke ladangmu!”
Aria
Tebing semakin bingung dengan tuduhan yang ditujukan kepadanya. Ia merasa tidak
pernah membalik kayu pembatas itu. Cendawan emas itu tumbuh dengan sendirinya.
Meskipun ia sudah meminta maaf dan menjelaskan keadaan yang sebenarnya,
Pangeran Serunting tidak mau terima. Bahkan, ia menantang Aria Tebing untuk
berkelahi.
“Hai,
Aria Tebing. Kamu tidak usah banyak alasan. Jika kamu berani, lawan aku! Aku
menantangmu!” tantang Pangeran Serunting.
Aria
Tebing bingung untuk menjawab tantangan itu. Ia menyadari bahwa dirinya akan
mungkin mampu menghadapi kakak iparnya sakti mandraguna itu. Tapi, jika ia
menolak tantangan itu, Pangeran Serunting pasti akan membunuhnya.
“Baiklah,
Kanda. Aku akan terima tantangan Kanda, tapi berilah aku waktu 2 hari untuk
berpikir!” pinta Aria Tebing.
“Baik,
kalau itu maumu. Jika perlu, latihlah kemampuanmu sebelum waktu itu tiba!” seru
Pangeran Serunting dengan nada melecehkan.
Sejak
itu, Aria Tebing sulit memejamkan matanya. Ia bingung mencari cara agar bisa
mengalahkan Pangeran Serunting. Sehari sebelum pertarungan itu dimulai, ia
akhirnya menemukan jalan keluarnya.
“Ahhaaa...
aku tahu cara sekarang,” gumam Aria Tebing. “Kak Sitti pasti tahu kelemahan
Pangeran Serunting.”
Aria
Tebing menemui kakaknya secara sembunyi-sembunyi. Ia kemudian meminta kepada
kakaknya agar mau memberitahu kelemahan Pangeran Serunting.
“Kak
Sitti, tolong kasih tahu aku mengenai kelemahan Pangeran Serunting!” bujuk Aria
Tebing, “Kalau tidak, ia pasti akan membunuhku.”
Sitti
tidak menjawab. Hatinya sedang bingung. Ia tidak ingin adiknya mati, tapi ia
pun tidak mampu mengkhianati suaminya.
“Maafkan
aku, adikku. Aku tidak bisa mengkhianati suamiku,” kata Sitti kepada adiknya.
“Tolonglah
aku, Kakak,” rengek Aria Tebing, “Jika pun aku mengetahui kelemahan Pangeran
Serunting, aku tidak akan membunuhhnya, sedangkan ia pasti akan membunuhku.
Apakah Kakak rela melihat aku tewas di tangan suami Kakak sendiri?”
Sitti
kembali terdiam. Ia tersentuh dengan perkataan adiknya.
“Baiklah,
Dik. Aku akan memberitahukannya, tapi kamu harus berjanji untuk tidak
membunuhnya,” ujar Sitti.
“Baik,
aku janji. Aku tidak akan membunuhnya,” kata Aria Tebing.
Akhirnya,
Sitti pun membocorkan rahasia kelamahan suaminya kepada Aria Tebing.
“Rahasia
kesaktian suamiku ada pada rumput ilalang yang selalu bergetar walaupun tidak
tertiup angin,” kata Sitti, “Jika kamu menombak rumput ilalang itu, kekuatannya
langsung lenyap seketika.”
“Baik,
Kak. Terima kasih atas bantuannya,” ucap Aria Tebing.
Pada
hari yang telah ditentukan, Pangeran Serunting dan Aria Tebing pergi ke sebuah
padang ilalang. Setiba di sana, pertarungan pun dimulai. Baru saja pertarungan
itu dimulai, Aria Tebing sudah mulai terdesak oleh serangan-serangan kakak
iparnya. Hal itu menunjukkan bahwa betapa tingginya kesaktian Pangeran
Serunting.
Meskipun
demikian, Aria Tebing tidak gentar karena sudah mengetahui kelemahan sang
pangeran. Pada saat yang tepat, ia segera menombak ilalang yang bergetar di
padang itu. Seketika itu pula, sang Pangeran jatuh tersungkur ke tanah dengan
keadaaan luka parah.
Merasa
dikhianati oleh istrinya, Pangeran Serunting pergi meninggalkan kampung
halamannya menuju ke Gunung Siguntang untuk bertapa. Setiba di sana, tiba-tiba
ia mendengar suara gaib dari Sang Hyang Mahameru.
“Hai,
anak muda. Maukah engkau mendapatkan kekuatan gaib?” tanya suara itu.
“Saya
sangat mau, wahai Sang Hyang Mahameru,” jawab Pangeran Serunting.
“Baiklah,
tapi ada syaratnya yaitu engkau harus bertapa di bahwa pohon bambu hingga daun
bambu itu menutupi seluruh tubuhmu,” kata Sang Hyang Mahameru. Tanpa berpikir
panjang, Pangeran Serunting segera menyanggupi persyaratan itu. Setelah itu, ia
langsung memulai tapanya dengan penuh konsentrasi. Segala bentuk kehidupan
dunia telah lenyap dalam pikiran dan ingatannya. Rasa lapar dan dahaga pun tidak
dirasakannya lagi. Semakin lama ia semakin larut dalam tapanya sehingga tak
terasa sudah 2 tahun ia bertapa. Saat itu pula, seluruh tubuhnya telah
tertutupi daun-daun bambu yang telah berguguran.
Sesuai
dengan janjinya, Sang Hyang Mahameru kembali mendatangi Pangeran Serunting.
“Wahai,
anak muda. Karena engkau telah berhasil melaksanakan syarat itu dengan baik,
maka kini saatnya aku menurunkan ilmu kesaktian kepadamu,” kata Sang Hyang
Mahameru.
“Kesaktian
apakah itu, wahai Sang Hyang Mahameru?” tanya Pangeran itu penasaran.
“Apa
pun yang engkau ucapkan akan berubah menjadi kutukan,” jawab Sang Hyang
Mahameru.
Dengan
perasaan gembira, Pangeran Serunting segera pulang ke kampung asalnya. Dalam
perjalanan pulang, terbersit di pikirannya untuk menjajal kesaktian yang baru
diperolehnya itu. Saat menjumpai hamparan pohon tebu di tepi danau, ia berkata:
“Jadilah batu, wahai pohon tebu!” serunya.
Berkat
kesaktian lidahnya, hamparan pohon tebu itu langsung berubah menjadi batu. Oleh
karena itulah, Pangeran Serunting dijuluki Si Pahit Lidah karena kesaktian
lidahhnya itu. Selanjutnya, Si Pahit Lidah mendapati sebuah bukit yang gersang
dan tandus bernama Bukit Serut. Ia kemudian mengubah bukit gersang itu menjadi
hutan belantara. Ketika tiba di suatu desa, Si Pahit Lidah memenuhi keinginan
sepasang suami istri yang sudah tua untuk memiliki anak. Dengan kesaktian
lidahnya, ia mengubah sehelai rambut milik si nenek menjadi seorang bayi
laki-laki.
Begitulah
seterusnya, di sisa perjalanannya menuju Sumidang, Si Pahit Lidah terus belajar
berbuat baik kepada sesama makhluk hidup. Setiba di kampung halamannya, rasa
dendamnya kepada Aria Tebing pun hilang sudah seiring dengan perbuatan baiknya
di sepanjang perjalanan. Ia pun meminta maaf kepada adik iparnya itu, juga
kepada istri tercintanya.
*
* *
Demikian
cerita Si Pahit Lidah dari Sumidang, Sumatra Selatan. Pesan moral yang dapat
dipetik dari cerita di atas adalah bahwa ilmu yang kita miliki sebaiknya
dimanfaatkan untuk menolong dan berbuat baik kepada orang lain, bukan untuk
menyombongkan diri.
(Samsuni/sas/266/08-11)
Diceritakan
kembali oleh Samsuni